Keranjang Anda kosong!
Oleh Khalis Surry/kba.one
BANDA ACEH – Bagaimana caranya mengingatkan orang Aceh akan kelamnya masa-masa konflik? Atau mengkritik negara yang pada suatu ketika telah zalim kepada rakyatnya? Idrus Bin Harun punya caranya: lewat kuas dan cat.
Tak hanya dua benda itu, satu lagi adalah dinding atau bisa juga kanvas. Dinding, kuas dan cat menjadi semacam “benda suci” yang selalu ada di dekatnya. Mungkin dinding tak bisa diusung ke mana-mana tapi kuas dan cat selalu ada di dalam ranselnya.
Namun, satu lagi yang tak kasat mata adalah ide. Entah berapa banyak ide bersemayam dan berkecamuk di benak lelaki Meureudu, Pidie Jaya ini. Ide-ide inilah yang kemudian diunggah ke dinding.
Lewat benda-benda itulah, Idrus menumpahkan segala narasi “perlawanan”. Ia senang menyindir penguasa yang bengis, pembohong dan korup.
Tahun 2015, pada sebidang dinding di Gudang Sarinah, Pancoran, Jakarta, Idrus membuat mural berisi dengan objek burung garuda yang mencengkeram emblem bertuliskan ‘Bhoneka Tinggal Luka’. Di tubuh garuda yang hanya separuh, bertengger cerobong pabrik, rumoh Aceh, pohon gersang dan tetesan mirip darah.
Berjudul ‘Menolak Jawai’, mural yang didominasi warna hitam itu dipamerkan di Jakarta Biennale, perhelatan akbar seni rupa Indonesia yang dilangsungkan dua tahun sekali oleh Dewan Kesenian Jakarta.
‘Menolak Jawai’ yang penuh metafora itu digunakan untuk menggambarkan Aceh yang tidak punya ruh untuk bergerak sesuai keinginannya sendiri. ‘Jawai’ dalam bahasa Aceh berarti penyakit lupa yang kerap melanda para lansia atau dikenal dengan pikun. ‘Menolak Jawai’ digunakan Idrus untuk menceritakan perjalanan politik bagaimana Jakarta memperlakukan Aceh sejak dulu. “Mural tentang keberingasan Indonesia yang memperlakukan Aceh dengan militerisme. Konflik, kekerasan konflik, semua detail dalam lukisan itu,” ujar Idrus. Ada banyak hal kelam di situ, tapi bagi pria kelahiran 11 Oktober 1981 ini, kejadian-kejadian masa lalu itu tak boleh dilupakan.
Ketika di Jakarta itu, nama Idrus mulai terdongkrak. Ia tak lagi hanya dikenal sebagai salah seorang pendiri Komunitas Kanot Bu. Seniman mural ini dimasukkan detikHOT di dalam 10 seniman yang paling bersinar sepanjang tahun itu. Mereka dipilih berdasarkan prestasi atas karya yang dihasilkan, dan mendapatkan pengakuan publik.
Tahun ini, arah angin kembali tertuju padanya. Karyanya yang berjudul ‘Bunga Tidur’ (Cet Langet), lulus seleksi dalam Pameran Besar Seni Rupa yang digawangi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Lukisan itu bakal dipamerkan di Taman Budaya Provinsi Maluku, September mendatang. “Jadi kita ke sana (Ambon) hanya membawa lukisan yang sudah siap ini untuk dipamerkan. Bukan disuruh melukis lagi di sana,” ujar Idrus kepada KBA.ONE, Sabtu, 8 Juli 2017.
Sebelumnya, Idrus mendaftarkan lukisan tersebut ke panitia. Ia mengirim konsep lukisan dalam bentuk narasi, serta melampirkan foto lukisan.
Lukisan yang dikirim tersebut kebetulan belum lama disiapkan, tahun ini juga. “Saya buat beberapa hari sebelum pameran itu, karena saya pikir temanya etos kerja cocok dengan lukisan saya jadi saya kirim saja,” ujar Idrus. “Tidak disangka lulus.”
Alumni Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Syiah Kuala ini menyebutkan sekarang ia sedang mengurus berkas keberangkatannya ke Ambon. Namun, karena seniman yang mewakili Aceh hanya dirinya seorang, panitia masih memberikan peluang seorang lagi. Begitu juga dengan beberapa provinsi lain yang pesertanya dianggap masih kurang. Panitia memberi tenggat hingga 12 Juli.
‘Bunga Tidur’ (Cet Langet) dilukis di atas kanvas berukuran 80 x 120 sentimeter. Lukisan itu menjelaskan tentang seseorang pemalas yang mempunyai angan-angan panjang. “Mau ini, mau itu, mau capai ini, mau capai itu, tapi tidak melakukan sesuatu yang dikerjakan untuk mendapatkan itu. Kalau hadih maja mengatakan ‘meugrak jaroe meu ek igoe’. Mungkin (dia) hanya tidur hehe,” ujar Idrus.
Karena “kegemarannya” menyentil penguasa, bagi Idrus lukisan itu tak hanya mengambarkan tentang seseorang secara umum, tapi juga berlaku untuk pemimpin Aceh. Ketika berkampanye pada waku pemilihan kepala daerah, si pemimpin menawarkan program-program yang begitu bagus. “Tetapi (sudah jadi pemimpin) program-program dalam kampanye itu tidak dilakukan, sama saja dengan cet langet,” ujarnya. “Banyak program waktu kampanye tapi tidak pernah terealisasi, jadi tanyoe sabee dalam lumpoe.”
Sumber: kba.one
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.