DARAS mitos, trauma: bunyi

Oleh Reza Mustafa

Aku dan masa lalumu: 

berbaring, beradu punggung di hening pucuk tidur 

agar dalam mata yang sama-sama mengatup 

ada titik yang sama-sama dipandang, kegelapan 

meski bunga mimpi tak sama saat menguncup

~ M. Faizi

Sejatinya tulisan ini sama sekali tak hendak mengantarkan anda kemana-mana. Tapi jika memang hajatannya bahwa sebuah peristiwa seni mestilah diawali dengan pengantar, biarlah ia menjadi hal ihwal yang memantik percakapan dalam lingkar pertemanan baru: hangat dan akrab tapi sentimentil. Penuh gelak tawa namun subtil. Pula tak menutup kemungkinan percakapan itu berlangsung serius, jujur tanpa syak wasangka, tanpa harus saling berupaya menampik letup-letup emosionil di dalamnya. 

Mitos. Trauma, lalu Bunyi. Adalah tiga perkara yang hendak diketengahkan dalam keseluruhan lanskap pameran rupa dan pertunjukan yang diberi tajuk; Daras ini. Perkara-perkara tersebut unjuk diri setelah dua seniman yang berkhidmat di Lembana Artgroecosystemโ€“sebuah kolektif seni di Madura, Fikril Akbar dan Syamsul Arifin, datang dan bermukim sementara di Komunitas Kanot Bu dalam ikhtiar menyigi titik singgung Aceh dengan kampung mereka. Sebagai bagian dari program residensi seniman Indonesia, baku konek, di mana ruangrupa dan Ditjen adalah Kebudayaan penyelenggaranya.

Menilik persinggungan Aceh dengan Madura atau sebaliknya, terutama dalam kurun, katakanlah, sepertiga abad ke belakang, telah membuat orang-orang yang terlibat dalam ikhtiar baik ini saling memicing mata sambil bertukar cakap. Ada banyak hal yang semakin dalam pembahasannya semakin kentaralah titik singgung menampakkan wujudnya. Dan kekentaraan itu akan kian jelas ketika yang dibahas adalah Aceh dan Madura sebagai entitas etnis di mana keduanya sama-sama punya pengalaman memikul jejak sekaligus beban masing-masing peradaban. 

Setiba pada kata peradaban, tanpa harus menahbiskan diri sebagai antropolog, sosiolog, sejarawan, atau pangkat-pangkat intelektuil lain yang untuk mendapatkannya rada musykil bagi kita oleh sebab uang kuliah tunggal (UKT) kian membumbung tinggi. Barangkali kita bisa bersepaham bahwa: rupa-rupa bahan baku konstruksi peradaban sebuah bangsa selalu berkitar antara; skandal, keranda, fiksi, darah, pesta, air mata, dosa, gugusan nisan, dusta, kuburan yang disangka orang bukan kuburan, pengkhianatan, puja puji, juga dongeng dan mitos, sembari tak bisa dinafikan bahwa kebajikan-kebajikan juga timbul tenggelam di sela-selanya. Pahlawan sebuah peperangan tak perlu disinggung di sini, sebab dalam urusan ini mereka akan selalu berada pada titik paling kontradiksi terutama ketika dikeker oleh dua pihak berlawanan dalam waktu bersamaan.  

Lantas melalui mulut orang-orang yang ditemui Fikril dan Syamsul, secara khusus atau tidak, Aceh hari ini menampakkan diri sebagai sebuah entitas yang riang gembira namun memendam murung durja. Sementara dari mulut dua seniman itu, Madura hadir dalam keadaan tengah bertungkus lumus melepaskan diri dari kekangan stigma. Untunglah petis rujak cingur bisa dimamah atau diterima dengan mudah oleh lidah orang banyak, pun racikan asam sunti ternyata tidak menimbulkan sensasi buruk apapun sehingga orang luaran tak perlu merasa kepayahan atau kikuk sendiri ketika berada di meja makan orang Aceh. 

Di titik singgung yang lain; berkenaan bagaimana negara hadir di tengah-tengah kehidupan sosial dua entitas yang kadung dikenal keras ini, percakapan jeda sejenak. Angin dari balik puncak Goh Leumo di Peukan Bada berkesiur kencang, meluruhkan daun-daun kering beringin yang tumbuh menggantung di atas bilah tembok Komunitas Kanot Bu. Ada rasa getir tak berperi ketika memperbincangkan hal ini, terutama ketika mengingat tahun-tahun di mana Aceh penuh serdadu. Itu cerita yang menumbuhkan kembali ingatan tentang teror ninja di Madura, pembasmian preman di Yogyakarta, peristiwa Talangsari, dan peristiwa-peristiwa kelam lainโ€“yang jika kita runut satu-satu akan membuat tulisan pengantar ini berubah jadi semacam laporan Komnas HAM. Di sini, negara seturut alat-alatnya tampak begitu menyeramkan, gampang curiga, bertemperamen tinggi dan cenderung lebih memilih menyelesaikan suatu perkara dengan kebengisan, alih-alih memakai instrumen hukum yang ada. 

Pun demikian, membiarkan diri larut dalam getir berkepanjangan adalah alamat buruk. Hanya akan membawamu pada suasana batin para penggerutu. Melulu mengkambinghitamkan keadaanโ€”ihwal yang kerap membuat seorang muda yang sejatinya energik, melempem layu diserang waham bijak prematur (baca: paranoid tak menentu): bersuara tidak, bertindak pun tak. Sebab itulah percakapan ini kemudian beralih pada perkara-perkara yang memancing gelak tawa. Dan arab pegon, istilah abjad arab djawi bagi orang-orang Madura, benar-benar berhasil menghimpun kembali nostalgi kanak-kanak saat masih belajar mengaji, di mana cerita-cerita tentangnya terasa tak jauh beda antara Aceh dan Madura.

Secebis di antaranya adalah cerita tentang suatu masa di mana orang-orang ramai memakai kain hitam atau kuning yang dilipat kecil berbentuk persegi atau segi tiga sebagai mata kalung. Di dalamnya tertera doa-doa atau mantra-mantra abjad arab pegon itu tadi. Orang-orang meyakininya sebagai ajimat dengan banyak khasiat: bisa bikin kebal dari mata belati, bisa menghilang seperti tuyul, atau kadang meyakini pula bisa menggaet pasangan tanpa perlu menggosok gigi lagi. Itulah masa di mana orang-orang keluar rumah dalam kepede-an tingkat tinggi, kendati mantra arab pegon yang tertulis dalam jimatnya itu ternyata hanya sederet kalimat, โ€œKau tak bisa membaca cuaca jika yang lebat-lebat di tubuhmu kau biarkan gundul begitu saja. Tumbuhlah!โ€

Akhirul kalam, peristiwa seni yang sedang anda alami ini adalah representasi percakapan banyak arah antar seniman. Oleh karena sejak awal Lembana Artgroecosystem dan Komunitas Kanot Bu sepakat untuk membebaskan diri dari kekakuan interaksi subjek-objek, kolaborasi yang terjalin ini tidak hanya berlaku antar dua muka mereka saja. Begitu pun seniman yang terlibat di dalamnya tidak hanya sebatas seniman rupa, tapi turut andil pula penyair, aktor, juru hikayat, juru grafis, dan juga musisi.

Proses mereka mendaras ide, simpul-simpul penting dari diskusi tanpa henti, dihadirkan dalam karya kolaborasi seni rupa dan seni pertunjukan. Tentu saja karya-karya tersebut tidak dalam upaya mentah-mentah memaknai Aceh. Tidak juga dalam rangka serampangan hendak mendefinisikan Madura. Kecuali itu, pertautan antara dua entitas ini, terutama tentang mitos dan kabar buruk masa lalu adalah dua hal yang disepakati perlu diberi bunyi agar percakapan terus berlanjut sementara seruput kopi sahut menyahut. Wassalamu…

Katalog Pengkaryaan

Note: File dalam format PDF