Kebiasaan PNS, Warung Kopi, dan Orientasi Kerja

Saya tinggal di lereng gunung dan setiap pagi mengantar anak ke sekolah di pusat kota Meureudu, Pidie Jaya. Setiap kali melewati jalan layang, saya selalu berpapasan dengan sejumlah PNS di Jalan ‘Layang Gade Salam’ yang bekerja di kantor bupati dan sejumlah kantor lain di Kompleks Cot Trieng, Pidie Jaya.

Polanya selalu saja sama. Masuk sebentar ke kantor untuk ‘finger print’ sebagai bukti kehadiran, lantas para PNS itu balik lagi ke seputaran jalan layang.

Lalu, warung kopi (warko) penuh dengan PNS. Beberapa pelanggan yang tidak terbiasa tentu saja merasa bahwa sepertinya kantor sudah berpindah ke warkop.

Setelah beberapa lama, ada yang balik ke kantor, ada juga yang nongkrong sampai jelang siang, dan ada juga yang sudah pulang ke rumah, ganti kostum, nanti sore ke kantor lagi: ‘finger print’ lagi. Tentu saja dengan pakaian PDH, putih, atau batik, atau kemeja yang tadi pagi dipakai saat ‘finger print’ pagi.

Apakah mereka, para abdi negara kita, bekerja di luar tugas dan fungsi mereka sebagai PNS? Saya rasa tidak. Mereka sudah bertugas dengan aturan yang diberlakukan kepada mereka. Lalu, kenapa tongkrongannya di warkop? Apa salahnya?

Jawabannya adalah budaya. Kopi dan rokok adalah dua hal yang intim. Keduanya seolah memang harus bersatu. Keduanya kebutuhan dasar para lelaki di Aceh, tentu saja bagi yang merokok. Bagi yang tidak merokok, bergabung di warkop adalah bentuk dari PNS atau ASN yang mengerti habitat. Akan ada jenjang sosial antara abdi negara yang AnWar dan yang bukan AnWar. AnWar apa sih? He he, akronim dari anak warung.

Kembali soal salah dan tidak salah di atas. Bicara soal salah dan tidak salah, semestinya memang harus ada aturannya. Sekolah masuk pukul 07.45 WIB. Siswa sampai di sekolah pukul 08.10 WIB. Siswa tersebut jelas melakukan kesalahan.  Guru berhak menasihati. Salah lagi, siswa diberikan sanksi ringan. Salah lagi, diberikan sanksi yang lebih berat. Sederhananya seperti itu. Anda yang pernah sekolah tentu paham. Kecuali, Anda ASN, tidak pernah sekolah. Ah, mana mungkin ada PNS tidak pernah sekolah? Ada tidak? Baiklah, kalau ada, nanti tunjuk tangan aja ya, he he.

Akhirnya menjadi PNS, idaman banyak orang. Karena orang dapat melihat bagaimana santuy-nya para PNS. Kerja tidak kerja, gajinya full. Lantas PNS adalah idola dara-dara cantik. Lantas PNS bisa bikin iri profesi lain yang bekerja di sektor swasta. Kecuali, para kontraktor ataupun para calo proyek pemerintah dan orang-orang partai. Dua profesi terakhir yang saya sebut, memang seakan-akan sehabitat dengan PNS atau ASN di negara ini.

Sekali lagi, sebenarnya para abdi negara kita itu tidak bersalah. Orientasi kerja abdi negara kita adalah waktu. Mereka hanya perlu hadir di kantor dari pukul sekian ke pukul sekian. Agar memudahkan pengecekan, dibuatlah sistem modern: presensi menggunakan finger print. Celakanya, alat ini hanya untuk mengecek ‘sidik jari’, bukan untuk mengecek abdi negara hadir pukul berapa, pulang pukul berapa, dalam sehari sudah mengerjakan apa, dalam seminggu produktivitas bekerjanya bagaimana? Sebulan? Setahun? Finger print tidak bisa mengecek itu semua.

Bagaimana abdi negara di negara maju? Kebetulan saya dapat video YouTube Guru Gembul. Eh, rupanya di luar negeri atau lebih tepat di negara maju, orientasi kerja abdi negara berdasarkan prestasi. Kalau mereka berprestasi, gaji dikali lipat. Apa yang terjadi kemudian? Kualitas kerja abdi negara di negara maju luar biasa. Mereka hanya bekerja sekian jam, tapi hasil mereka kerja, sangat menarik dan banyak (kualitas dan kuantitasnya keren).

Bandingkan saja iklan pemerintah kita dengan iklan yang dibuat swasta, bagusan yang mana? Bandingkan saja TVRI dengan stasiun swasta? Silakan jawab sendiri.

Demikian juga dengan guru di Indonesia. Guru profesional dapat tunjangan sertifikasi. Dana yang dikucurkan negara melimpah. Dan, apakah pendidikan kita menjadi lebih baik? Orientasinya juga waktu. Bukan prestasi.

Oleh karena itu, guru profesional hanya menghabiskan waktu 24 jam per minggu sebagai prasyarat penerima tunjangan sertifikasi. Soal pendidikan lebih baik, itu soal kedua.

Sepertinya pola orientasi kerja abdi negara harus diubah dari pola orientasi waktu ke pola orientasi prestasi. Pengawai kantoran yang berprestasi seyogianya mendapatkan tambahan gaji sekali atau dua kali lipat. Guru di sekolah berprestasi atau yang grade A, sertifikasinya dobel. Guru sertifikasi di sekolah grade B, C, tidak dikali lipat. Jika itu diberlakukan, tentunya abdi negara akan berlomba-lomba menjadi kreatif, berupaya menjadi yang terbaik dan negara mendapatkan hasilnya.

Guru Gembul mengungkapkan bahwa di negara maju, abdi negara bekerja dalam sehari hanya beberapa jam, tapi hasilnya luar biasa kreatif.

Bagaimana dengan guru? Indikator apa yang dapat dilihat menunjukkan guru itu berprestasi? Guru yang berprestasi itu bukan hanya seorang guru yang ‘one man show’, melainkan guru yang maju semua hebat bersama.

Guru yang keren itu adalah yang jago mengajar, ikhlas mendidik, dan kompak dengan guru-guru lainnya alias guru-guru kolaboratif membangun pendidikan di sekolahnya. Jika sudah begini: tentu sekolahnya menghasilkan siswa yang jago akademik dan nonakademik.

Negara atau masyarakat tinggal buat tolok ukur bahwa prestasi di tingkat SMA, semisal, siswanya banyak yang kuliah dan kuliahnya di perguruan tinggi-perguruan tinggi ternama, baik dalam maupun luar negeri.

Tentu saja pola kerja yang berorientasi prestasi ini harus dibahas di tingkat nasional. Saya tidak tahu, apakah sebuah kabupaten, misalnya Kabupaten Pidie Jaya dapat membuat kebijakan pemberian gaji tambahan atau upah tambahan kepada pegawainya yang berprestasi? Mungkin, jika DPRK sepakat, tinjauan eksekutif Pidie Jaya pada orientasi kerja abdi negara bisa saja menjadi ‘contoh’ untuk Aceh atau untuk nasional.

Tinjauan eksekutif tentang pola orientasi kerja PNS atau ASN atau abdi kabupaten, tentu saja akan lebih bisa berjalan jika eselon I, II, dan eselon III, direkrut berdasarkan kemampuan, berdasarkan profesionalitas atau meritokrasi. Bukan berdasarkan ‘saboh lorong’ ataupun ‘saboh mukim’ atau ‘saboh chik’, atau ‘sapat teuh watee masa konflik’.

Namun, jika eselon I, II, III masih orang-orang dekat atau orang-orang pintar menjadi bunglon, orientasi kerja pola prestasi, saya rasa, berharap PNS atau ASN tidak lagi keluyuran bahkan berleha-leha di warkop, tentu semua itu hanyalah keniscayaan. Semua itu hanya omong kosong. Isapan jempol doang.  (*)

Oleh Edi Miswar Mustafa, Guru SMAN 1 Meureudu, dan salah seorang pendiri Komunitas Kanot Bu di Banda Aceh, melaporkan dari Meureudu.


Artikel ini telah tayang di SerambiNews.com dengan judul sama https://aceh.tribunnews.com/2024/10/10/kebiasaan-pns-warung-kopi-dan-orientasi-kerja.