Daisuke Takeya: Seni Adalah Pelindung Sekaligus Sarung Tangan Paling Bagus Bagi Seniman

Banda Aceh – Selasa (28/02) sore Komunitas Kanot Bu (KKB) kedatangan tamu dari Jepang. Daisuke Takeya. Adalah seniman yang juga kurator Field Trip Project Asia, satu acara pameran rupa yang berlangsung di Museum Tsunami Banda Aceh, 25 Februari hingga 12 Maret 2017. Daisuke bertandang dengan didampingi Fujimoto Jin, Program Coordinator Asia Center Japan Foundation Jakarta, Yoshiya Makita, sejarawan yang meneliti sejarah tsunami di berbagai bangsa dan Pratitou Arafat dari ICAIOS.

Disambut oleh Idrus bin Harun, Muhadzdzier Maop, dan Zulham Yusuf, Daisuke banyak bertanya tentang program kesenian yang digagas oleh KKB. Seperti TerasSore, Nuga-nuga Art, Bolos Resmi dan Ruang Studi Jama’ah (RSJ). Maop mewakili KKB menjelaskan bahwa semua program di KKB lahir secara dadakan dan berjalan sesantai orang-orang di Bivak Emperom, sekretariat komunitas.

“Di sini semua berjalan santai. Programnya, orangnya, dan suasananya. Walau tidak merekrut anggota secara resmi, kami menerima rekan-rekan yang produktif dan konsisten dalam berkarya” ujarnya Maop.

Menurut Maop produktifitas dan konsistensi adalah masalah yang melanda sebagian pekerja seni budaya, khususnya di Aceh. “Walau pun sedang gairah-gairahnya berkesenian, godaan untuk ikut berpolitik praktis cukup besar daya tariknya sehingga bisa membuyarkan gairah berkesenian tadi. Dan itu kerap terjadi menjelang pilkada,” tambahnya.

Daisuke menanggapinya dengan penjelasan yang menarik. Khusus berkenaan dengan kebanyakan karya di orang KKB yang cenderung politis dan penuh sindiran. Baik dalam karya rupa, sastra dan musik, menurutnya medium seni cukup merdeka untuk melepas kritik, sindiran dengan pelbagai gaya ungkap yang sarkastik. Ia menjelaskan, di Jepang juga banyak seniman yang bicara politik di mana seni adalah bungkusnya.

“Seni adalah pelindung sekaligus sarung tangan paling bagus bagi seniman,” ungkap Daisuke.

Pratitou yang bertindak sebagai jembatan bahasa membuat diskusi yang berlangsung tidak banyak di ranah seni belaka. Topik-topik lain serupa sejarah dan humaniora juga menjadi bahasan yang cukup membuat suasana kunjungan seniman Jepang ini terasa akrab, hangat dan penuh gelak tawa.[]