Keranjang Anda kosong!
Bhoneka dan Garuda
—
Oleh Tepank Fajriman
MURAL yang dilukis oleh Idrus bin Harun merupai sisa bangkai ayam yang telah dimakan anjing. Seekor anjing yang memakan ayam akan meninggalkan sisa-sisa berupa kulit dan bulu, ceker, dan kepala dari seekor ayam. Sisa-sisa bangkai itu coba dibentangkan oleh Idrus dan menjadikannya sebagai bagian objek mural.Gambar sisa bangkai ayam menjadi salah satu bagian dari muralnya yang dipamerkan pada Jakarta Biennale 2015. Idrus menyebut mural serupa sisa bangkai ayam tersebut “Bhoneka Tinggal Luka”.
Secara keseluruhan, mural yang berukuran tiga lembar tripleks tersebut menceritakan tentang Aceh; tentang peristiwa-peristiwa dan keadaan yang pernah terjadi di Aceh dalam kurun waktu yang runtun. Ini dapat dilihat dari rupa Bhoneka Tinggal Luka itu sendiri berbentuk peta daerah Aceh, dan ikon rumah adat Aceh yang terdapat di atasnya; serta simbol-simbol keacehan lainya seperti: ikon Mesjid Raya Baiturrahman yang khas, rencong, bendera GAM, keupiah meukeutopsemakin mempertegas mengenai Aceh. Selain itu, terdapat juga tulisan-kata untuk memperjelas perihal tersebut.
Tubuh Bhoneka Tinggal Luka itu sendiri tidak lagi utuh, penuh bekas cabikan, berdarah, dan pipa-pipa yang menancap di berbagai sisi yang menyatu dan berujung pada tongkat kekuasaan Jakarta yang rakus dan korup. Pipa di sana menjadi gambaran pengurasan kekayaan sumber daya alam Aceh berupa minyak dan gas sampai habis. Rakyat Aceh yang pernah bangga dengan kehadiran PT. Arun hanya kebagian tetesan sisa yang menguap pada permukan pipa penyedot gas, dan sekarang di sana hanya tinggal besi tua di atas tanah yang kosong.
Dari sini, ketidakadilan menjadi awal peristiwa-peristiwabesar yang lain terjadi: Hasan Tiro menyatakan perlawanan lewat Gerakan Aceh Merdeka(GAM), dan Pemerintah Indonesia menjawabnya dengan memberlakukan Daerah Opersi Militer (DOM) dan Darurat Militer. Konflik bersenjata pun berlangsung dan banyak masyarakat sipil yang menjadi korban. Idrus menggambarkan bagaimana awal operasi militer diberlakukan. Tentara-tentara diterjunkan, pos-pos militer didirikan sepanjang jalan, pungutan liar, dan jam malam diberlakukan. Masyarakat Aceh hidup dalam keadaan tidak normal. Para tentara mencobamelakukan pendekatan operasi militer dengan jargon penuh cinta kasih pada masyarakat, namun itu tak ubahnya seperti tukang bangunan yang diolesi alas bedak rias pengantin, dalam hal kerja bangunan, seorang tukang perlu tenaga kuat dan kasar ketika membengkokkan besi atau mencabut paku, dan keringat akan melunturkan make up hingga tampak wujud wajah aslinya.
Salah satu gambar menceritakan tentang kekerasan akibat konflik bersenjata itu terjadi, gambar tiang beton dengan kerangka manusia, bisa dibayangkan bagaimana seluruh badan korban yang dicor dengan adukan semen basah hingga mengeras, ini menjadi salah satu penyiksaan biadap bila dibandingkan dengan metode penyiksaan Yunani Kuno sekalipun.
Gambaran tersebut menyatu dengan kutipan penyataan mantan Gubernur Aceh Ibrahim Hasan pada waktu itu yang menanggapi operasi militer yang sedang diberlakukan, “Ibarat orang meukeurija rayoek (pesta besar) sudah tentu ada risikonya akan pecah piring dan gelas selusin-dua lusin, itu janganlah jadi soal.”
DOM dicabut, namun prahara konflik terus berlanjut. Tuntutan referendum yang gagal. Status Aceh kembali lagi sebagai daerah operasi militer yang berganti nama Darurat Militer. Pemerinatah RI dan GAM baru bisa berdamai setalah musibah gempa dan tsunami melanda Aceh. Kasepakatan damai antara GAM dengan Pemerintah Indonesia melahirkan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki.
Pada sisi bagian kanan mural, Idrus menggambarkan kondisi Aceh setelah perdamian. Hasil perdamain MoUHelsinki menjadi setengah harga diri bagi Aceh, setelah merelakan tuntutan merdeka sebagai harga mati. Rakyat Aceh telah percaya pada mantan-mantan petinggi GAM untuk memimpin Aceh, baik itu di pemerintahan dan sebagai wakil rakyat. Ini penting untuk melancarkan pelaksanaan kesepakatan MoU Helsinki demi kesejahteraan rakyat Aceh, akan tetapi jangankan berbuat untuk kehidupan rakyat Aceh lebih baik, untuk sesama mantan anggota GAM saja mereka belum berlaku adil.
Mereka sibuk mengurus lambang dan bendera yang mereka anggap sebagai harga diri rakyat Aceh, namun di sisi lain mereka menginjak-injak harga diri mereka sendiri yang ribut saling merebut untuk menentukan siapa yang paling berhak menentukan ABPA (Anggaran Pendapatan Belanja Aceh).Mereka sudah cukup nyaman dengan memiliki double cabin, tanpa rasa malu terhadap sesama mantan GAM yang tidak punya apa-apa.
Bayangkan saja, belum habis masa kepemimpinan pada periode pemilihan lalu, sebagian mereka telah berancang-ancang untuk Pilkada yang akan datang, betapa tidak berharganya suara rakyat Aceh yang telah memilih mereka. Aceh sekarang benar-benar seperti “Bhoneka” tanpa kepala yang tidak mampu melakukan apa-apa.
Bhoneka itu sendiri terlalu buruk untuk disamakan dengan Garuda Pancasila dan segala falsafahnya, walaupun terdapat perisai Pancasila pada tubuh Bhonekadan ada kemiripan bunyi pengucapan antara semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” dengan “Bhoneka Tinggal Luka”. Bhoneka bukanlah Garuda Pancasila.
Melalui mural tersebut, Idrus ingin menyerukan kepada setiap orang Aceh untuk tidak mudah lupa terhadap segala perihal penting yang telah terjadi di Aceh, dalam istilahnya dia sering mengucapkan, “Menolak Jawai”. Bila tidak dilarang, mural tersebut masih terus terpajang dalam Gedung Sarinah, Jakarta Biennale 2015 sampai 17 Januari 2016 nanti.
*Tulisan ini telah dimuat di Harian Serambi Indonesia edisi Minggu, 27 Desember 2015
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.