Bagaimana Kami Mengisi Damai

Kurun waktu lebih kurang 30 tahun, perang telah meluluhlantakkan segala hal. Tsunami datang menggenapi segala keganjilan-keganjilan akibat perang. Lalu, atas nama kemanusiaan—memang sudah seharusnya, damai meng-ada dibarengi mengucurnya triliunan dana bantuan, hingga: ada satu masa ketika Aceh terlibat dalam euforia mudahnya mendapatkan uang.

Seorang sekuriti kantor swasta bergaji Rp4 – Rp5 juta perbulan dan orang-orang mendapatkan gaji setelah membersihkan rumahnya sendiri. Para fresh graduate (baca: intelektual muda) berbondong-bondong bekerja di NGO atau LSM dengan gaji belasan juta rupiah tiap bulan. Tapi keadaan ini tak berjalan lama.

Ketika lembaga donor pulang ke sarangnya masing-masing, yang tertinggal di Aceh adalah apa yang kami sebut dengan ‘gaya hidup pragmatis’. Manakala lembaga donor telah tiba dan tengah duduk manis di sarangnya, uang di Aceh hanya berada dalam lumbung APBA. Yang memungkinkan para fresh graduate selanjutnya—atas nama warisan gaya hidup pragmatis tadi—ramai-ramai mengerubungi lumbung ini dengan dua cara: Ikut tes PNS atau terlibat dalam kerja politik praktis. Entah jadi calo suara atau jadi tukang ikat spanduk tiap musim pilkada datang.

Fenomena itu menunjukkan bahwa wujud damai di Aceh masih belum menyeluruh. Ia masih bersifat fisik dan belum merasuk ke dalam ruh. Celakanya banyak pihak memanfaatkan damai di Aceh masih kerap dipergunakan untuk hal-hal yang bersifat mengejar materi pribadi atau kelompok hal sementara ruang ekspresi bagi kreativitas seni orang-orang muda kian menyempit.

Komunitas Kanot Bu lahir dengan gagasan mencoba memperlebar kembali ruang berekspresi. Khususnya ekspresi seni yang mengusung wacana-wacana atau gagasan-gagasan tertentu di baliknya. Bukan ekspresi seni yang hanya berkutat pada keindahan semata. Itu sebabnya gagasan artivisma menjadi bahasan penting dalam komunitas, yang dengannya sesuatu produk seni lahir dalam bentuk-bentuk karya yang sarkas atau bahkan otokritik.

Ranah seni menjadi titik fokus dari kerja komunitas ini, sebab kami yakin seni punya daya ledak yang menyerang alam bawah sadar. Sehingga pesan-pesan damai, isu-isu sosial di Aceh, atau pesan-pesan keadilan yang terenggut semasa konflik terus berdengung di pikiran orang-orang.

***

Esai ini dipresentasi di acara ICAIOS bertema komunitas muda mengisi perdamaian Aceh pada Januari 2018.