Notulensi Tak Resmi TerasSore Perdana

Kamis (11/6/2015) ba’da ashar. Adalah hari di mana Komunitas Kanot Bu, berhajat menggelar sebuah acara. TerasSore namanya. Acara yang melingkup diskusi, ngopi bersama, dan penampilan musik akustik. Direncanakan TerasSore akan dilaksanakan rutin saban bulan. Hari ini acara perdananya digelar dengan tajuk “Musik dan Kepekaan Sosial”.

Hadir dalam diskusi ini, vokalis Amroe & Pane Band, Zulfan Amroe sebagai pembicara. Ditandemi Raisa Kamila, yang akan memberikan gagasannya mewakili para penikmat musik. Muhadzdzier M Salda atau akrab dipanggil Maop jadi host. Fuady Keulayu akan tampil sebagai bintang tamu. Lagu-lagunya diharapkan tak sekadar mampu menghibur peserta tapi mampu membuka wacana berpikir mereka.

Telah ditentukan TerasSore mulai pukul 16.45. Namun sekira pukul 16.15 cuaca cerah mendadak berubah. Mendung mengepung. Tuan rumah deg-degan jika sekiranya hujan, acara mau dihalau kemana. Persiapan dadakan, publikasi dan undangan yang hanya disebar via jejaring sosial dan dari mulut ke mulut, ditambah langit kelabu pertanda akan turun hujan sedikit banyaknya bikin dahi Maop keringatan. Yang lain juga ikutan cemas. Idrus berteriak, “Mansyah, kau cari pawang hujan sana.”

Sekira pukul 16.25 orang mulai datang satu-satu, bertambah jadi dua, tujuh, dan seterusnya hingga bisa dibilang cukup untuk memulai sebuah acara. Di langit awan hitam bergelayut, tapi Fuady langsung membuka acara dengan sebuah lagu. Jak Lam Gampong judulnya. Sebuah lagu yang liriknya menceritakan kebiasaan orang-orang kota yang tidak bisa beradaptasi dengan orang-orang kelas bawah ketika turun ke kampung-kampung. Reff lagu ini terdengar sarkas. Liriknya begini; “Jak dalam gampong bek peu kota droe. Bek pike kamoe hana teupeue la. Jak dalam gampong bek peu gaya. Bek ka pike droe ka hayeue raya.”

Peserta terus berdatangan. Muda-mudi lintas komunitas seperti anak-anak Turun Tangan, SumberPost UIN Ar-Raniry, dan lain-lain ikut hadir ambil bagian. Tak dinyana, gitaris Seuramoe Reggae Zulfan Monika atau akrab dipanggil Jaboy, juga ikut serta saat acara baru saja mulai. Salah satu dedengkot band reggae Aceh yang telah punya nama besar ini datang bersama Danurfan alias Cigem si pegiat kopi Arabica Gayo.

Kedatangan dua orang yang tak disangka ini diikuti Azhari Aiyub, Direktur Komunitas Tikar Pandan. Lalu nama-nama anak muda kreatif Aceh seperti Husaini Nurdin, Aris Yunandar, Akmal van Roem, Iswadi Basri, Miswar bin Ibrahim Njong, Zuhriadi Noviandi, Fairuziana Humam dan dua kawannya dari Jakarta dan Yogya (Ayu dan Sita) nampak antusias mengikuti acara. Lainnya, banyak teman-teman yang belum diketahui namanya tak kalah antusias ikut serta.

Yang unik dari kedatangan orang-orang lintas komunitas, yang menurut hitungan Zulham—panitia yang mengerusi desain grafis dan publikasi—jumlahnya mencapai seratusan pasang mata adalah buah tangan berupa aneka penganan yang mereka bawa. Ada yang bawa gorengan, donat dan minuman dingin untuk dinikmati bersama. Pun pihak tuan rumah sudah menyediakan ubi, ketela dan jagung rebus sebagai menu utama berikut kopi pelengkap minumnya.

“Ini mengingatkan kita pada gaya acara-acara kenduri di kampung. Orang-orang datang dengan bawa penganan masing-masing untuk disantap bersama. Bisa disimpulkan, acara independen seperti ini akan disambut antusias oleh kawan-kawan lintas komunitas,” komentar Husaini Nurdin.

Selepas acara Fairuz juga kasih komentar. Menurutnya acara diskusi di TerasSore adalah diskusi yang cukup adil. “Biasanya, yang namanya acara diskusi, 45 menit waktu bicara itu untuk yang duduk di depan. Yang duduk di belakang cuma dikasih waktu 15 menit untuk beri pandangan, tanggapan atau bertanya. Itu pun berebut. Tapi, di sini saya melihat antara pembicara dan audiens punya peluang memberi pandangan atau saling bertanya jawab dalam durasi waktu setara. Ini lebih asyik dan benar-benar jadi tempat sharing ilmu dan pengalaman saya kira,” katanya antusias.

Apa yang disebut Fairuz memang tidak berlebihan. Maop sebagai moderator, merujuk kepada sifatnya dalam bersosialisasi, yang tahu betul kapan harus ngeyel dan kapan mesti santun cukup membuat acara berjalan dengan santai dan terbuka. Siapa pun bebas memberi pendapat dan tanggapan atau pertanyaan tanpa dibatasi pemotongan-pemotongan yang tergesa-gesa oleh host acara.
Jaboy Seuramoe Reggae bisa dengan gamblang menjelaskan bagaimana genre musik yang diusung oleh pemusik akan menjadi tak penting sama sekali untuk dibicarakan tenimbang pesan-pesan yang disampaikan pemusik itu sendiri. Pesan apa yang ingin disampaikan seorang pemusik melalui lagunya adalah hal yang harus terus menerus disorot mengingat musik pada dasarnya bukanlah sekadar alat pemancing angguk-angguk kepala saja.

Sementara itu Raisa punya pandangan, ketika musik benar-benar dijadikan alat untuk mendobrak sesuatu, maka tingkat keberhasilannya bisa dirujuk dari lembar-lembar sejarah yang ada. Hampir semuanya punya catatan yang gemilang. Ia ambil contoh kasus yang pernah terjadi di Afrika sana. Bagaimana hijab politik apartheid yang memisahkan orang kulit putih dengan kulit hitam seketika runtuh pas sebuah band naik ke panggung pada sebuah konser di Afrika. Itu adalah hal terkecil dari bukti bahwa musik yang memiliki pesan akan sangat mampu mengubah sejarah.

“Perkembangan musik di suatu daerah juga bisa digunakan sebagai penanda sejarah. Apa yang populer dibicarakan, yang pernah terjadi di masa-masa tertentu bisa dilihat berdasarkan rujukan tema lagu-lagu yang beredar pada masa tersebut. Tahun 80-an ngetrend tema apa, 90-an bagaimana, itu bisa dilacak dengan musik-musik yang berkembang,” ujar Raisa.

“Saya pertama sekali tahu kejadian-kejadian di Aceh seperti Referendum, Tragedi Arakundo, setelah mendengar lagu-lagu yang pernah dibawakan Yacob Thailah, dan lain-lain,” sambut Rahmat perwakilan Turun Tangan.

Para peserta sepakat dengan pandangan-pandangan yang dilemparkan ke forum. Fuady bernyanyi lagi. Dengan gitar akustiknya, kini ia menyanyikan sebuah lagu berjudul Meuseunoh Tanoh. Mengangkat tema konflik lahan di Aceh antara perusahaan besar dengan penduduk setempat di beberapa daerah. Lagu ini sudah sedikit akrab bagi para peserta acara sebab pernah dibawakan di beberapa pentas di Banda Aceh dan rekaman videonya telah beredar di laman youtube. Tak ayal saat lagu ini dinyanyikan peserta juga ikut bernyanyi bersama secara spontan.

Usai ngelagu, diskusi berlanjut. Kali ini Aris kasih pendapat. Menurutnya, musik yang dapat mengubah sejarah adalah musik yang punya independensi tinggi oleh para pemusiknya. Dan dalam konteks sekarang, hal ini sudah sangat sedikit ditemukan mengingat industri musik apakah tingkat lokal, interlokal mau pun internasional cenderung dikuasai para pebisnis kapitalis. Dalam kasus ini, band-band yang punya independensi tinggi dalam bermusik sudah cukup langka. Banyak pemusik sudah tak mementingkan isu-isu sosial yang mestinya memengaruhi kepekaan sosial para penikmatnya.

Menyambut argumen Aris, Amroe mengatakan independensi pelaku seni khususnya pemusik adalah hal yang paling urgent. Independensi ini bisa dibangun dengan mengasah kepekaan sosial dengan turun ke ranah-ranah kelas bawah, memahami pelbagai persoalan yang ada. Di sini ia mengemukakan proses kreatifnya dalam mencipta sebuah lagu, baik lirik maupun musiknya adalah hasil pencernaan terhadap apa yang didapatnya di lapangan. Dalam istilah akademis, cara begini bisa dikatakan dengan riset lapangan. Lantas ia mendiskusikannya dengan teman-teman yang lain hingga menghasilkan karya-karya seperti lagu-lagu yang pernah dinyanyikannya dalam pelbagai event.

“Intinya kau tak akan pernah bisa menyampaikan isu-isu sosial masyarakat kelas bawah jika tidak memahami duduk soalnya apa. Untuk bisa paham apa yang dialami orang-orang di kampung, tentu saja kau harus turun ke sana,” ujarnya.

Maop, host TerasSore yang penyabar itu mengambil alih. Ini orang memang cerdas dan kocak. Ia bisa memposisikan diri sebagai mak comblang antara pembicara dengan audien. Setiap pendapat yang diberikan pembicara dihantarnya dengan baik ke hadapan peserta untuk ditanggapi, dikritisi, atau ditanyai lagi.

Sekarang ia menodong Cigem untuk memberi tanggapan. Lepas mengunyah sepotong ubi rebus yang ditodong pun buka suara. Menurutnya, isu-isu sosial yang disuarakan via karya seni oleh para pelaku seni, dalam hal ini musik misalnya, tidak selamanya harus dipercayai bulat-bulat oleh para penikmatnya. Penikmat harus punya kepekaan yang lebih tenimbang pelaku seni itu sendiri. Sebab, bukan tidak mungkin, dan ini sudah lazim terjadi, bahwa karya-karya yang di permukaan nampak membela rakyat pada kenyataannya hanyalah hasil kerja standar ganda perusahaan-perusahaan atau pemerintah sebagai usaha cuci tangan.

“Sebagai penikmat musik, kita anak muda di Aceh hendaknya menjadi penikmat yang cerdas. Kita harus tahu seluk beluk latar belakang sebuah karya, siapa pelakunya, dan lain sebagainya. Dari sini, kita bisa menjaga kepekaan sosial itu dengan sikap-sikap kritis yang tentu saja punya andil untuk kepentingan masyarakat banyak yang suaranya kerap tak pernah terdengar hingga ke tampuk kekuasaan,” kata Cigem disambut tepuk tangan riuh.

Menanggapi pandangan Cigem, Amroe memisalkan hasil karya independen dan kepekaan sosial dengan sebuah lagu berjudul Bu Elly yang digarapnya bersama Fuady. Ini peluang bagi Fuady memulai intro lagu yang dimaksud. Usaha ini cukup memancing suasana diskusi kembali bergemuruh. Lantas terdengarlah koor peserta saat lagu mencapai reff: “Bu Elly, Bu Elly. Haji Bakri ho geuh ka? Pakat jep kupi. Bu Elly, Bu Elly. Ajudan mesum peu haba? Pakat jep kupi.”

Usai lagu ini, Maop membuyarkan percakapan Azhari dengan Hendra Kasmi yang duduk agak di belakang sana. “Bang Azhari harus kasih tanggapan,” kata Maop.

“Ya saya setuju dengan apa yang disampaikan teman-teman tadi. Lagu harus mewakili suara rakyat, karena penguasa tidak berbicara tentang rakyat. Lagu-lagu yang membela rakyat harus terus dinyanyikan di mana saja. Harus disebar ke semua kalangan. Lagu Bu Elly tadi misalnya, lagu ini harus jadi virus. Bahwa kita di sini tidak lupa dengan kemesuman para pejabat. Saat pemerintah mencurigai kemesuman rakyatnya, kenapa tidak kita membuka aib kemesuman orang-orang di kalangan mereka sendiri yang sampai sekarang seperti ditutup-tutupi,” Azhari menanggapi disambut tepuk tangan riuh.

Suasana sore kian gelap. Tak ada semburat senja hari ini. Mendung masih berkuasa di langit sana. Sudah pukul 18.15 saat Maop kembali ambil alih diskusi. Menurutnya, sesuai dengan jadwal yang telah disepakati acara sudah harus dipadai. Namun sebelum ditutup, Jaboy Seuramoe Reggae ditodong maju kedepan membawakan sebuah lagu. Peserta diskusi kembali bernyanyi merapal lirik lagu berjudul Peu Keuh Nyoe Balasan Ateuh Cinta Kamoe dari album pertama Seuramoe Reggae yang telah akrab ditelinga.

Namun itu bukan lagu penutup. Sebab seusai bernyanyi, Jaboy malah menyodorkan gitar kepada Amroe. “Masa penyanyi disuruh bicara saja di sini. Penyanyi ya harus nyanyi juga dong,” ujarnya. Forum lagi-lagi riuh menyemangati Amroe untuk bernyanyi.

“Oke. Oke. Satu lagu lagi. Bang Pan, nyanyi satu lagu. Jangan macam-macam. Saya host di sini!” kata Maop.

Lantas keluarlah dari mulut Amroe pesan-pesan moralis dalam setiap penggal lirik lagunya. Sepenggal di antaranya terdengar, “Udep nyoe kon keu seumajoh mantong, lagee binatang. Tanyoe udep bek ta peu saban droe, lagee binatang. Bek galak that-that pajoh atra gob. Lam pingan bu gob bek ta meucuca. Bek galak that-that peu raya pruet droe. Beu na tapakoe pruet ureueng lingka. Pajoh ube sep, pajoh ube grah. Bek tanyoe tamak luba.”[]

Oleh: Reza Mustafa