Keranjang Anda kosong!
Seni Rupa di Tengah Panggung Sandiwara
—
Bersama Komunitas Kanot Bu di Banda Aceh, dua kurator Jakarta Biennale 2015: Asep Topan dan Putra Hidayatullah berdiskusi tentang kapasitas seni dalam membahasakan realita.
Komunitas Kanot Bu mengundang dua kurator Jakarta Biennale 2015, Asep Topan dan Putra Hidayatullah, pada 24 Juni lalu untuk mengisi Terassore, program diskusi mereka di Banda Aceh, dengan judul “Rupa Membongkar Kepura-puraan”. Komunitas Kanot Bu sendiri aktif menggunakan seni sebagai medium untuk mengkritik persoalan sosial dan membicarakan perkara kebijakan yang timpang serta sejarah kekerasan politik melalui mural, musik, kaos, dan sastra.
Praktik itulah yang dibicarakan dalam diskusi ini. Komunitas Kanot Bu ingin memperluas wawasan seni generasi muda setempat, sebab selama ini seni kerap terpinggirkan, jarang ada diskusi terkait geliat seni di Aceh. Dimoderasi oleh Muhadzir M Salda, Asep dan Putra membicarakan kapasitas seni dalam membahasakan realita. Acara ini dihadiri oleh beberapa anggota komunitas seni setempat seperti komunitas Komik Panyoet, Tikar Pandan, Akar Imaji, dan Apotik Wareuna. Hadir juga jurnalis, sineas, musisi, serta sejumlah pekerja lembaga swadaya masyarakat setempat.
Putra membuka diskusi dengan penjabaran tentang manusia sebagai artefak kebudayaan. Manusia adalah entitas yang bertumbuh seiring dengan kebudayaan pada masa hidup dan lingkungannya, yang kemudian mewariskan kebudayaan tersebut melalui perantara bernama bahasa. Bahasa di sini, tegas Putra, diartikan secara luas: tidak hanya berupa kata, kalimat, atau tenses dalam bahasa Inggris. Dengan begitu, karya seni macam gambar, film, dan seni rupa juga bisa disebut sebagai produk bahasa, spesifiknya bahasa visual. Ada diskursus atau wacana yang dikomunikasikan dalam karya-karya tersebut.
Para kurator Jakarta Biennale 2015 kemudian mengutip Eduardo Galeano, penulis Uruguay, untuk mengaitkan jabaran mereka dengan tema diskusi. Lady reality adalah istilah Eduardo untuk realita, karena realita tidak selalu sama dengan yang ia tampakkan. Ia cenderung bersolek, cenderung bertopeng. Asep dan Putra memberi contoh perilaku orang-orang yang berebut menuju tampuk kekuasaan. Banyak topeng-topeng yang dipakai. Bagi Asep dan Putra, seni idealnya bisa ikut bicara membongkar kepura-puraan lewat bahasa visual. Seni berpotensi menciptakan suatu narasi untuk menghantam topeng realita.
Asep turut bercerita tentang peran kurator, berkaca dengan pengalamannya sebagai kurator selama ini, juga dengan proses belajar yang ia lalui bersama lima kurator muda lainnya dalam Curatorial Lab sepanjang persiapan Jakarta Biennale 2015. Baginya peran kurator saat ini tidak lagi terbatas dengan institusi museum seperti halnya di Barat, tapi lebih luas lagi sebagai peramu karya seni sehingga membentuk suatu wacana, untuk merespons krisis-krisis yang dihadapi masyarakat hari ini dan hari mendatang.
Seorang peserta diskusi bertanya, bagaimana seorang kurator misalkan memaknai mural Idrus yang terpampang di lokasi acara. Putra menjawab, ” Saya melihat mural karya Idrus tidak hanya karya seni yang mapan secara estetik, tapi juga bicara suatu fenomena. Ada cerita di balik mural ini, yang beranjak dari realitas yang sedang atau telah kita hadapi selama beberapa waktu ini, terkait dengan kekerasan politik yang terjadi beberapa waktu lalu di Aceh. Lewat mural ini, kita setidaknya mengerti bahwa realitas hari ini tidak hadir begitu saja, tapi merupakan rentetan-rentetan peristiwa masa lampau yang tak seharusnya kita lupakan begitu saja.” (AJP)
Sumber: Jakarta Biennale
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.