Serokok Kopi, Xambuy Edisi Oktober 2024

1 Oktober tahun ini, menurut kalender tradisional Aceh, posisi bintang Kala alias Scorpio berada pada posisi sejajar dengan bulan. Dan ia masuk dalam musim keunรถng limรถng, atawa kena lima. Mana kala di musim tersebut, angin timur bekerja menumpahkan hujan ke bumi, merahmati petani bila hendak turun ke sawah. Posisi itu bisa saja berubah, menurut rumus matematis purba yang telah diwariskan para leluhur.

Bertepatan dengan itu, orang-orang Komunitas Kanot Bu membuka dua umรถng (lahan) semai pada kelas Menulis dan Ilustrasi. Hujan tentu saja turun seperti seharusnya, membasuh lahan pikir para peserta kelas, yang kian hari nyaris kering dan terbengkalai. Sama seperti cerita yang pernah kudengar dari seorang teman, tentang betapa banyaknya lahan tidur di Aceh Besar, lantaran sebagian kaum muda membangun mimpi di balai-balai usang sudut kampung. Pemuda-pemuda itu, menurut ceritanya, menumpul dalam gelagat hidup dan tak kuasa melawan diri sendiri. Hal yang demikian, tentu tak hanya terjadi di sebagian pelosok kampung. Masyarakat kota juga sama modelnya; “Nganggur dan menumpul!”

Itu bukan cerita langka. Bukan pula sebuah kabar yang membuat kita tak berpikir. Karena begitulah alun irama pemangku negeri, yang minim ide untuk merancang strategi-strategi baru dalam membangun peradaban bangsa, hingga berefek pada denyut pertumbuhan. Apa mau dibilang, jika kita juga lazim pada tabiat dunia yang hanya main-main saja. Hanya tahu mengganjal bibir dengan rokok murahan, sembari rebahan di lantai balai, di mana papan kayunya terdumpul kalang dari punggung pemuda panuan. Lalu menonton konten konyol pada layar hape remuk, dan soak baterai. Lantas pulang kala cacing dalam perut memberi alarm.

Jika lama membiarkan diri begitu, akan bernasib seperti Glugรถng. Tahu Glugรถng? Dialah sebatang pangkal kayu yang lama terendam, kemudian hanyut kaku dalam air raya. Dia bisa jadi bersarang di mulut alur. Kemudian belukar menyemak, menutupinya. Terciptalah sebuah taman bermain biawak.

Atas dasar itulah kelas ini dibuka. Agar peserta tak mengalami hal sama seperti cerita di atas. Mengingat para pengikut kelas yang rata-rata mahasiswa tingkat akhir, akan rentan menemui masa tenggang produktif, dan dikhawatirkan mudah terkalahkan dalam kehidupan. Selagi masih terhitung muda, tenaga oke punya, akan mampu menguasai lahannya sendiri. Peka dalam semangat praktik kebudayaan sehari-hari.

Kelas itu kemudian mendatangkan sepuh ahli, dalam menguasai rumus panen jangka pendek dan juga jangka panjang. Dan yang paling penting dari kelas yang masuk dalam kategori terpendek di dunia ini, mampu menjadikan peserta tak Infertil, alias Kom dalam versi Aceh.

Iswadi Basri, Idrus bin Harun, yang mengasuh kelas Ilustrasi. Reza Mustafa dan Azhari Aiyub, pengampu kelas Menulis. Dua kelas itu digabung menjadi satu dalam Ruang Study Jamaah (RSJ). Sebuah ruang penyembuhan dari penyakit dunia yang tak terlalu parah. Karena menurut kata Idrus, salah seorang pencetus api di Komunitas Kanot Bu, “Saket di Acรจh na bacut sapat, yang ka brat-brat ta eksport u luwa” (Sakit di Aceh ada di semua tempat, yang sudah parah kita ekspor ke luar) begitu kira-kira. Syukur bahwa dari dua belas peserta yang ada dalam dua kelas itu, belum sampai pada tahap sakit yang parah. Entah jika setelahnya mereka semakin gila, maka akan kita ekspor keluar juga.

Empat hari adalah serpihan kecil dari hari-hari selanjutnya yang menggenapi minggu. Kelas berlangsung damai, dalam rahmat Ilahi Rabbi. Para peserta kelas ada yang tiba dari Meulabรดh, Lhรดkseumawe, Aceh Besar, dan Banda Aceh, dengan berbagai latar belakang masalah yang berbeda. Di dalam kelas, peserta saling mentransfer informasi, kemudian meruncing ke sebuah ide karya, saling terhubung satu sama lain. Maka lahirlah buku begini rupa. Sebagai bentuk hasil panen peserta kelas, dengan meriah dan penuh suka cita.

Kru seumangat!