Keranjang Anda kosong!
Di Baku Konek, Kita tidak Kuliah Kerja Nyata
โ
Segerombolan mahasiswa didatangkan kampus ke kampung-kampung dan ditempatkan di rumah-rumah warga untuk menjalankan misi tertentu sebelum lulus kuliah, dalam durasi tinggal untuk masa yang telah diputuskan. Mahasiswa yang telah sekian tahun hidup dari kost, tongkrongan dan lalu ke kampus, kemudian menjauh dari rutinitas belajar dalam ruangan menuju kehidupan nyata dan bergelut dalam masyarakat.
Namun, karya mahasiswa KKN paling nyata dan dapat kita temui sejauh ini di kampung-kampung adalah pemasangan nama lorong, aneka lomba untuk anak usia Sekolah Dasar. Dari lomba adu ketangkasan fisik hingga ke adu kecerdasan akademis. Mahasiswi yang memiliki kemampuan mengajar, akan memberi les mata pelajaran cuma-cuma dan pengajian Al Quran selepas magrib. Karya-karya itu terus berulang entah hingga sampai kapan. KKN menjadi rutinitas pasif dan tak menjadi gerakan kebudayaan.
Kehadiran mahasiswa di kampung-kampung dari zaman Pak Harmoko masih menjabat sebagai menteri penerangan hingga Pak Jokowi yang tinggal sebulan lagi berkuasa sebagai Presiden Indonesia di tahun 2024 ini, tidak banyak menawarkan gagasan bagi perkembangan kampung dan perjalanan intelektual. Entah sebab terbatasnya waktu tinggal, entah karena program KKN dijalankan untuk menggugurkan kewajiban akademik semata, tak ada yang peduli dan tak banyak terobosan siasat agar Kuliah Kerja Nyata menjadi bagian penting menyerap fakta kehidupan masyarakat dan lalu mahasiswa membuat karya yang selain bermanfaat, juga estetik.
Residensi juga demikian kadang kala. Hanya saja, residensi seni punya tawaran dan daya gali ke dalam palung kehidupan masyarakat ke titik terdalam. Setidaknya, seniman yang bermukim tidak hanya makan minum semata di tempat bermukim. Akan tetapi, sejauh yang kami perhatikan di Kanot Bu selama masa residensi Baku Konek 2024 ini, seniman punya agenda harian yang jelas, seperti berkunjung ke sumber belajar. Kami menyebutnya demikian karena banyak pembelajaran bagi seniman dari sana. Sumber belajar itu berupa lembaga atau perseorangan. Dari yang resmi sampai yang sama sekali jauh dari riuh pusat pengetahuan dan kebudayaan, di antaranya ialah, Panglima Laot, sejarawan tari, korban konflik Aceh 2003-2004, penulis independen, seniman pendatang yang telah menetap di Aceh secara permanen, hingga pengangguran.
Tugas Kanot Bu dalam hal ini semata mempertemukan. Dua seniman Lembana dari Madura yang kami pilih untuk berkolaborasi ini, secara aktif dan mandiri melakukan pengamatan ke kampung-kampung, pasar tradisional hingga ke lembaga macam museum. Pada situasi tertentu, kami tak lagi ikut mendampingi agar apa yang mereka dapat bukanlah materi yang sudah mengalami kanonisasi dari kami Kanot Bu. Kami sependapat bahwa Aceh yang sedang mereka selami adalah Aceh apa adanya dengan rentang sejarah panjang nan berliku, juga Aceh terkini dengan segala bekas luka dan cara masyarakat menyembuhkannya pelan-pelan. Tak ada keinginan untuk menampilkan Aceh secara manipulatif dan mencitrakannya seperti iklan layanan masyarakat di televisi. Aceh yang kami rasa dan nikmati ini, semoga sama dirasa oleh tamu kami itu.
Hingga mencapai 2 karya yang jika diperhatikan seksama adalah satu keutuhan, karya kolaborasi ini dibangun dengan percakapan-percakapan yang kadang menegangkan namun, juga penuh canda tawa. Percakapan kadang terjadi pagi, tengah malam dan terjadi begitu saja tanpa pemberitahuan seperti rapat resmi.
Layaknya kehidupan sehari-hari orang Aceh di warung kopi, karya ini adalah obrolan yang berhasil diselamatkan secara konkrit dan kemudian bisa anda nikmati citra-citra kecil Aceh-Madura dalam wajahnya yang asli. Tanpa diupayakan tampil memukau hanya untuk bisa bersanding dengan seniman โbasis studioโ di pameran-pameran nasional dan internasional.
Madura dan Aceh dalam karya ini cukup dekat secara batiniah. Dan Islam merekatkannya secara permanen. Agama, meskipun kini orang-orang menyebut sebagai urusan personal, ketika berhasil menerobos dan hadir di ruang komunal, akan menjadi api yang menggerakkan motor spirit untuk menjegal apa pun yang jahiliyah dan menindas. Asal dikemas dengan estetik dan tak mengada-ada.
Untuk kamu yang suka memisahkan agama dan hajat hidup orang banyak, kerja kebudayaan seniman Residensi Baku Konek 2024 di Aceh dan karyanya akan sangat mengganggu idealisme sekular-mu. Samsul Arifin dan Fikril Akbar adalah dua anak Bangsa Madura yang secara baik-baik diterima dan lalu hadir menyelam ke dalam alam bawah sadar Aceh secara intim selama sebulan lebih. Bagi kami, mereka adalah seniman yang rajin dan berinisiatif untuk menjemput fakta di lapangan.
Samsul dan Fikril yang kami pilih sebagai kolaborator untuk bekerja dalam program Baku Konek dapat berbagi pengalaman kerja kebudayaan dan siasat-siasat dalam mempercakapkan ide, pemetaan gagasan hingga membentangkannya menjadi karya yang bersifat pertunjukan dan instalatif.
Kami kira, mereka sangat membantu kami menjadi speaker yang menggaungkan Aceh dan Madura ke seantero dunia. Dua bangsa ini jarang bertemu dalam kerja-kerja kebudayaan. Baku Konek 2024 ini menjadi pembuka untuk kolaborasi ke depan.
Kami mengucapkan terima kasih kepada pihak penyelenggara Baku Konek 2024 (Kemdikbud dan Ruang Rupa), seniman kolaborator (Deeva, Aqeela, Jack Warholic, Zikra Yanti, Fuadi KontraS, Alex, Seniman Khali Tunggal, Todak, Cek Iswadi, Zoel MS dan teman sekalian yang ikut terlibat pengkaryaan.
Kepada teman jejaring kami yang telah bersedia menerima dan berdiskusi secara gembira; KontraS Aceh, LBH Banda Aceh, Shopie’s Sunset Library, Panglima Laot Lhok Lam Teungoh, Imam Juwaini (Komunitas Saleum), Mapesa dan Pedir Museum.
Untuk sahabat yang luput kami sebutkan, namun terlibat aktif, kami mohon dimaafkan.
Akhir kata, semoga kolaborasi adalah kata kerja yang segera mengakar dan tumbuh subur di dua tanah muia ini; Aceh dan Madura.
Demikian!
Katalog Pengkaryaan
Note: File dalam format PDF