Peu Kru Seumangat Pidie Jaya

Dunia anak-anak itu warna-warni. Seperti pelangi. Tapi di Pidie Jaya, pelangi itu berubah jadi hitam-kusam tepat setelah gempa mengguncang pada subuh Rabu, 7 Desember dua pekan lalu. Ini bencana yang memakan banyak korban. 103 orang meninggal dunia. 85 ribu lebih orang mengungsi. Ribuan di antaranya adalah anak-anak.

Paska gempa gemerlap imajinasi dunia anak-anak kabur digerus trauma yang hingga sekarang masih bergelayut di bubungan tenda pengungsian—tempat mereka bersama orangtuanya tinggal. Dunia imajinasi mereka ambruk berkeping sebagaimana rumah-rumah, pertokoan, masjid dan meunasah yang telah jadi puing.

17 Desember 2016 Di desa Tampui Kec. Trienggadeng, Pidie Jaya, Komunitas Kanot Bu datang membawa cat warna dasar, kanvas, kuas, dan perangkat melukis lainnya. Kain kanvas dibentangkan memanjang. Kepada anak-anak di pengungsian dibagikan kuas satu seorang. Cat dalam pelbagai warna dituang dalam gelas plastik, disebar di antara mereka yang berkerumun. Lalu di atas kanvas itu mereka dibiarkan memvisualisasikan ekspresi, menuangkan imajinasi sekehendak hati.

Anak-anak berebut. Dengan tangan mungilnya, mereka menghamburkan ide penuh semangat. Ada yang menggambar bunga, mobil-mobilan, sekadar menulis nama, gunung, atau sekadar mencorat-coret seadanya tapi berujung pada penampakan bentuk abstrak. Di sudut yang lain, dengan bentuk font seadanya, seorang anak menulis; “Pak Jokowi Tolong Kami” lengkap dengan gambar emoticon perlambang sedih. Mereka melukis dari lepas ashar hingga senja merembang. Senyum semringah, tawa lepas.

Melukis bersama anak-anak korban gempa ini adalah acara yang digagas Komunitas Kanot Bu. Mengangkat tema; “Peu Kru Seumangat, Mewarnai Harapan Setelah Bencana merupakan satu usaha mengenyahkan trauma anak-anak paska gempa. Mengajak mereka belajar sambil bermain. Menciptakan momen bersama untuk bisa mengejawantahkan imajinasi mereka dalam ekspresi visual adalah keinginan yang ingin dicapai.

“Ada sekitar 50-an anak-anak yang ikut dalam acara melukis bersama ini. Mereka dibiarkan mengekspresikan ide masing-masing dalam sebuah kanvas panjang. Ini jadi semacam pelajaran bagaimana mereka bisa saling berbagi tempat, berempati satu sama lain, bisa saling menghargai wilayah coretan masing-masing—yang secara tidak langsung akan membentuk watak mereka saat dewasa nanti.” kata Miswar Ibrahim Njong, koordinator acara.

Acara Peu Kru Seumangat  ini terselenggara berkat dukungan banyak orang di hampir seluruh Indonesia. Sebelumnya Komunitas Kanot Bu sejak tanggal 13 – 16 Desember menggalang dana secara online, dan terkumpul Rp2,5 juta.

“Kami sangat berterimakasih kepada seluruh pihak yang telah menyumbang untuk terlaksananya acara ini. Dan dari jumlah yang terkumpul tersebut, bisa dilakukan acara serupa di beberapa titik pengungsian lainnya. Yang sudah terdata akan dilangsungkan juga di Gampong Jiem-jiem, Kecamatan Leungputu, dan nantinya juga di beberapa titik kecamatan Meurah Dua dan Meureudu,” ujar Miswar lagi.

Di pihak lain, Idrus bin Harun peutuha Komunitas Kanot Bu mengungkapkan, acara Peu Kru Seumangat ini adalah bagian kecil dari aksi kemanusiaan yang juga telah dilakukan banyak pihak. Tapi kegiatan kecil ini dirancang untuk bisa diadakan secara berkelanjutan.

“Dari kegiatan di beberapa tempat ini, kita akan menyusun dokumentasi acaranya dalam bentuk buku bacaan anak-anak dicetak dan kita bagi kembali kepada anak-anak di Pidie Jaya. Di dalamnya kita akan menyisipkan pengetahuan-pengetahuan umum berkenaan dengan bencana misalnya, di mana hal ini adalah salah satu cara mentransfer ilmu pengetahuan hingga ke akar rumput. Inilah bagian terpenting dari apa yang kita gagas sekarang ini,” terang Idrus.

Ketika disinggung apakah dana yang telah digalang sebelumnya cukup untuk memproduksi buku yang dimaksud, ia menggeleng. Dalam hal apa pun, kata Idrus, di tengah bencana atau tidak, Aceh dan setiap daerah lain di Indonesia harus punya daya produksi ilmu pengetahuannya sesuai konteks dan karakter daerahnya masing-masing. Ilmu pengetahuan model beginilah yang kami kira bisa menembus akar rumput, di mana mereka punya rasa kepemilikan yang sama dengan orang-orang yang memproduksi buku itu. Dari nya informasi, ilmu pengetahuan, bisa tercerap secara tidak langsung. Barangkali ini bisa menjadi titik anjak bagi siapa pun untuk bisa menyokong gagasan ini.

Seorang anak, dengan cat warna merah mulai menggores kuas. Pertama garis coretannya nampak tanpa bentuk. Sementara anak-anak yang lain sibuk, celingukan sana-sini, saling bercengkerama, si anak yang tadi sudah menyelesaikan lukisannya. Kini seekor kakak tua bertengger di kanvasnya. Dua anak lelaki yang lain membawa kabur wadah cat yang ada di depan tiga teman perempuannya. Tepat saat ketiga anak perempuan itu sedang larut mewarnai bunga-bunga bikinan kolektif mereka. Beberapa anak yang lain menyaksikan ulah usil dua anak lelaki tadi, tapi memilih diam, hingga ketika salah seorang anak perempuan berteriak cat di depan mereka sudah hilang, gelak tawa pecah.

Begitulah. Paska gempa, keceriaan anak-anak harus tetap terjaga. Dan acara “Peu Kru Seumangat, Mewarnai Harapan Setelah Gempa adalah satu dari sekian banyak usaha untuk memancing kembali imajinasi dunia anak-anak yang penuh warna. Pelangi dalam dunia mereka diharapkan bisa terang kembali. Seterang binar bola mata mereka yang ketika bersitatap dengannya para orang tua pulih dari pelbagai nestapa.[]

Sumber: acehmediart.com