Keranjang Anda kosong!
Semenjak Timur terkesima dengan apa yang telah dicapai Barat. Menjadikan Barat sebagai guru. Kiblat kehidupan. Mazhab dalam peradaban. Maka semua nilai di Timur ditimbang dengan menggunakan standar Barat. Jika ia unik menurut perspektif Barat. Maka uniklah dia. Jika hebat menurut Barat maka hebatlah ia. Seperti tradisi Dia De Los Muertos yang dianggap unik itu.
Oleh Miswar Ibrahim Njong
MILA, ISTRI SAYA. Menangis sesunggukan. Melihat bocah Miguel menyanyikan lagu Remember Me dengan penuh emosional. Di hadapan buyutnya; Mama Coco yang telah hilang ingatan, akibat usia tua. Itu adalah adegan akhir dalam film animasi Coco. Yang menguras air mata. Yang mengharukan itu.
Untuk ukuran film animasi. Film ini unik sekali. Menjadikan aliran realisme magis sebagai urat nadi ceritanya. Semua itu dimulai ketika Miguel bercita-cita menjadi penyanyi. Menjadi seperti idolanya, Ernesto De La Cruz. Namun mimpinya terhalang. Keluarganya sejak turun temurun telah mengharamjadahkan musik. Tak boleh ada penyanyi di rumah itu. Musik dan alat-alatnya adalah kutukan. Itu akibat trauma masa lalu keluarga.
Miguel kemudian gagal memenuhi impiannya. Dihadang oleh Mama Imelda, neneknya yang galak itu. Ia merupakan pemimpin keluarga. Mama Imelda menghancurkan gitar Miguel ketika tahu seorang pengamen jalanan mencoba mengajak Miguel bernyanyi. Itu telah menumpaskan kehendak Miguel mengikuti audisi pencarian bakat. Lantas Miguel lari dari rumah. Bercucuran air mata. Dan tak sengaja masuk ke sebuah bangunan. Rupanya itu adalah makam Ernesto De La Cruz, sang idola. Di atas pusara Ernesto telah bertengger gitar yang melegenda itu. Penasaran. Miguel mengambil dan memainkannya, menghentakkan tali senarnya. Dan terjadilah keajaiban itu; Miguel termasuki dunia roh. Hari itu adalah hari raya kematian. Di Amerika Latin, mereka menyebut peristiwa ini sebagai Dia De Los Muertos. Dirayakan setiap tanggal 22 November.
Itu adalah saat yang semua orang sibuk dan khusyuk. Siang dan malam. Masing-masing telah membangun sebuah altar persembahan. Mereka menyebutnya Ofrenda. Yang dirias dengan kehati-hatian yang tak dibuat-buat. Demikian istimewanya. Hingga Ofrenda dihiasi cahaya lilin, berpendar-pendar. Di sampingnya diletakkan Calavera, bunga Marigold, buah-buahan, minuman dan makanan yang semuanya juga istimewa. Dipesan secara khusus. Semua itu dipersembahkan untuk orang tersayang. Yang telah mangkat.
Khususnya di Meksiko mereka merayakan hari raya sakral ini tiap tahun. Tentu dengan kekhusyukan yang tak terbayangkan. Seperti umat Islam. Yang tiap lebaran berziarah ke makam dan mengirim doa-doa. Orang-orang di bagian tengah dan selatan Meksiko yang tingkat kepercayaan mereka terhadap Dia De Los Muertos begitu fanatiknya. Juga menziarahi kuburan pada Hari Raya Kematian itu. Mereka akan membawa minuman, makanan dan hal-hal yang disukai almarhum semasa hidupnya.
Orang-orang Meksiko percaya bahwa Dia De Los Muertos adalah hari penghubung. Menjembatani dua alam. Alam dunia dan alam roh. Mereka juga percaya pada hari ini, roh-roh dari keluarga atau orang-orang yang mereka sayangi akan menyeberang, menjenguk mereka yang masih hidup. Dapat bertemu, bercengkrama seperti dulu kala. Dan para roh hanya bisa menyeberang dalam dimensi alam manusia, jika seseorang yang masih hidup terus bersetia mengingat mereka. Memeluk erat kenangan tentang mereka. Merawatnya dalam foto atau mengenangnya lewat bait-bait puisi.
Lewat bait puisi pula. Sofia dapat pulang ke dunia menjenguk kekasihnya. Mengajaknya minum Tequilla. Bernostalgia. Mengenang masa-masa ketika mereka masih hidup bersama, sebagai sepasang kekasih yang haus asmara. Itu adalah kisah Dia De Los Muertos lainnya. Versi cerita pendek. Karya Putra Hidayatullah. Judulnya pun diambil dari Dia De Los Muertos. Dibuang Dia dan De. Jadi Los Muertos. Itulah judulnya. Hanya Putra dan Tuhan yang tahu. Mengapa dia tidak menaruh Dia De Los Muertos secara utuh. Tidak dipotong.
Cerpen ini tayang di Koran Tempo. Kira-kira sebulan lalu. Jauh setelah film Coco tayang. Setting dasar ceritanya pun nyaris tak berbeda. Sama-sama mengangkat kisah para roh yang menyeberang ke alam manusia. Saya menduga karya Putra terilhami Coco. Atau bisa jadi lewat pengalamannya membaca buku-buku Amerika Latin yang ia gemari. Sebab setahu saya, Putra belum sekalipun ke Meksiko. Menyaksikan dan Merekam langsung Hari Raya Kematian itu.
Sebagaimana karya Putra lainnya. Los Muertos dalam pembacaan saya tetap jadi salah satu karya sastra yang apik. Itulah mengapa redaksi Tempo menayangkan cerpen ini. Sama seperti film Coco, dianggap film terbaik. Mendapatkan piala Oscar.
Demi menulis cerpen ini. Saya membayangkan Putra begitu terkesima dengan Dia De Los Muertos. Dia mungkin seperti orang Barat yang terheran-heran. Namun takjub. Mendapati kebiasaan suatu komunitas yang memilih satu hari. Mengagungkannya. Lantas menetapkan hari tersebut sebagai Hari Raya Kematian. Sehingga orang-orang Hollywood itu merasa harus membuatkan film untuk kebiasaan mengagumkan itu. Sehingga seorang putra dari pedalaman Tiro memerlukan diri mengangkat cerita dengan pola realisme magis dengan latar Los Muertos yang jauh di Meksiko itu.
Semenjak Timur terkesima dengan apa yang telah dicapai Barat. Menjadikan Barat sebagai guru. Kiblat kehidupan. Mazhab dalam peradaban. Maka semua nilai di Timur ditimbang dengan menggunakan standar Barat. Jika ia unik menurut perspektif Barat. Maka uniklah dia. Jika hebat menurut Barat maka hebatlah ia. Seperti tradisi Dia De Los Muertos yang dianggap unik itu.
Padahal sebagai seorang putra dari Timur. Putra semestinya tidak perlu begitu terkesiap dengan Dia De Los Muertos. Ia bahkan dapat menemukan begitu banyak Dia De Los Muertos dalam bentuk lainnya di tanah kelahirannya. Di Indonesia. Aceh. Di Tiro.
Betapa banyak Hari Raya Kematian. Dalam bentuk yang berbeda. Berserak di Aceh.
Di sini. Di gampong konon ada orang-orang yang bisa menjadi jembatan penghubung antar alam; roh dan manusia. Mereka disebut dengan Balee. Bukan pemain Real Madrid itu. Bukan pula balai yang dalam makna bahasa Aceh. Tapi itu adalah sebuah gelar. Khusus untuk wanita-wanita khusus yang dituakan. Yang kekhususan itu hanya ada pada wanita. Tidak pada laki-laki.
Wanita-wanita ini. Para Balee ini dapat menarik roh yang terlanjur bersarang di tubuh orang biasa. Atau roh yang salah alamat. Mereka menjadikan tubuhnya sendiri sebagai medium, jembatan agar para roh dapat berinteraksi, bertemu dengan orang yang ingin dijumpai.
Banyak orang di pedalaman. Termasuk beberapa orang di gampong saya katanya masih percaya bahwa roh-roh itu dapat mendatangi orang-orang yang ingin ditemui lewat mimpi. Atau lewat tanda-tanda yang nyata. Terdengar mustahil. Akan tetapi dalam kitab Kifayatul Awwam, roh-roh itu memang dikabarkan senantiasa mendiami rumah duka selama 40 hari pertama setelah ia meninggal. Dan setelahnya menjenguk keluarganya tiap malam Jum’at. Para roh mengabarkan kedatangan mereka dengan kenangan yang datang tiba-tiba. Menyerang ingatan keluarga mereka hingga terkenang ke masa-masa ketika mereka masih bersama. Dan beberapa tetua yang masih fanatik, sering menyambut mereka dengan altar sederhana yang penuh kemenyan, minyak wangi, buah-buahan, soda, rokok, sabun hingga makanan yang disukai almarhum semasa hidup. Seperti merayakan Hari Raya Kematian. Bukan dengan cara massal seperti yang dilakukan orang-orang di Meksiko. Bukan pula dengan gegap gempita dan penuh warna. Tapi muram. Dalam duka dan sunyi.
Hanya saja, Dia De Los Muertos dalam alam tradisi kita terlanjur dipandang sebagai kebiasaan primitif. Dalam makna; sama sekali tidak unik. Barangkali karena tak ada orang Hollywood yang memfilmkannya. Atau karena agamawan kita memeranginya sebagai bentuk kurafat. Sehingga kita-kita yang pulang dari Barat juga ikut-ikutan mem-bully bahwa itu kebiasaan jumud, penghalang kemajuan, bukan ciri masyarakat berperadaban.
Kenapa musti jauh-jauh ke Meksiko!
Tulisan ini telah dimuat sebelumnya di akun steemit pribadi penulis: @miswarnjong