Karya Fuady S Keulayu

RUMAHKU dengan pasar hanya berjarak tiga ratus meter. Berada di sebelah timur, terpisah dengan sebuah sungai. Ada sebuah jembatan di sana. Tiang-tiang bak paha raksasa yang sudah mengerak tiram, terpacak pada kedalaman sungai. Banyak ikan bermain di ruas-ruas tiang jembatan itu. Jika hari Minggu, entah orang kampung mana saja datang memancing pada tembok di bawahnya.

Mereka turun ke bawah, setelah bergantungan pada besi jembatan. Seperti cicak yang hendak keluar dari lobang angin, di atas jendela kamar. Kaki belakang dengan ekor, masih menempel didinding. Sementara kaki depan beserta kepala, sudah masuk ke dalam lobang angin. Apabila ada mobil lewat, orang di bawah jembatan merasakan getaran dan bunyi ban “gruguk…gruguk”, pada sambunganjalan. Mirip saat aku duduk di atas lemari, lalu mendengar tikus yang berlarian di balik loteng.

Dari atas jembatan sebelah kanan, kita bisa melihat halaman belakang pasar ikan. Di sana dua-tiga boat besar yang baru pulang melaut, merapat menurunkan tong-tong ikan. Suara nelayan saat mengeluarkan tong dalam perut boat, bagaikan suara ombak yang susul menyusul menumbuk laut. Bila Ibu ke pasar, dari atas jembatan dia bisa melihatku sedang berada di antara para nelayan.

Jika aku lebih dulu melihatnya, aku lekas masuk ke dalam pasar kemudian bersembunyi di belakang tempat penyimpanan es. Aku berumur 10 tahun. Aku lebih suka duduk dan berbaur dengan orang dewasa. Aku suka mendengar orang dewasa berbicara, juga bergurau di pasar. Berada di antara mereka, aku hanya duduk, diam dan tersenyum. Kata mereka aku anak yang lurus, tidak nakal dan penurut. Padahal Ibu kerap mengatakan ebaliknya.

Sebelum ditemukan mayat tak dikenal, aku begitu sering ke pasar. Pagi saat ditemukan mayat, pasar menjadi heboh. Orang ramai berdatangan. Dua mayat di temukan terpisah. Aku sempat melihat sebelum orang kampung menutup mayat itu dengandaun pisang. Satu laki-laki. Dadanya bolong sampai ke bahu, ditemukan tak jauh dari pasar ikan. Satunya lagi perempuan. Penuh lembam biru di wajah. Darahnya mengering dalam lobang hidung, juga telinga. Mulut menganga terbuka dengan bibir bengkak. Tampak beberapa gigi depan luruh. Mayat perempuan itu ditemukan di lorong pasar tengah. Saat itulah aku tidak pernah lagi ke pasar.

Aku begitu takut saat mendengar orang pasar menyebut-nyebut kutu setelah melihatke dua mayat itu. Apakah mayat itu dibunuh kutu? Aku berlari pulang. Sampai di rumah dengan menangis, kusuruh Ibu mencari kutu di kepalaku.”Sudah Ibubilang, tidak dengar. Pigi lagi sana…pigi lagi!”. Begitulah Ibu jika kesal. Sudah beberapa kali Ibu melarangku ke pasar, namun aku tetap pergi juga. Jika sudah seperti itu apapun yang Ibu suruh, kuturuti.

Sebenarnya Ibu begitu sayang padaku. Apalagi aku anak satusatunya. Siang sehabis makan, Ibu menyuruhku duduk di kursi bambu dekat jendela. Kulihat di tangan Ibu ada sisir kutu, juga sebotol minyak kelapa busuk. Aku begitu benci baunya. Diambilnya kelender yang tersangkutdi dinding. Saat Ibu mencabut kelender, seekor cicak yang bersembunyi di baliknya melarikan diri masuk ke celah loteng. Kelender itu ditaruh di bawah mukaku dengan terbalik. Yang bertanggal ke bawah, sedangkan belakang kelender yang berwarna putih polos menghadap muka. “ Nunduk. Lihat kan? Makanya Ibu bilang dengar, jangan nakal. Kutu suka betul sama anak nakal!”. Kata Ibusambil memegang kepalaku. Ibu memang sering menakutiku soal kutu.

Katanya, kutu bisa menerbangkan anak-anak ke hutan apabila sudah banyak dan sampai bertelur di kepala. Saat itu aku tidak percaya sama sekali. Walaupun pernah kudengar dari orang pasar bahwa kutu pernah menciptakan banyak korban di Kampung Utara lima tahun silam. Aku menunduk. Sisir kutu di tangan Ibu mulai membajak kepalaku. Sebentar saja, kutu jatuh bagaikan buah meninjau di musim angin.”Brabbrup” di atas kelender. Beberapa kutu berwarna hitam mencoba lari.

Namun kuku jempol Ibu membunuh dengan cepat.“Emm…Lihat sebesar mana! Kalau segini semua, tak akan lama sudah sanggup mereka terbangkan”. Mendengar Ibu berkata demikian aku jadi semakin takut. Aku teringat mayat di pasar. Membayangkan kutukutu itu, menerbangkan aku ke puncak gunung. Di sana tentu banyak binatang buas. Teringat omongan orang pasar, bahwa ayahku juga hilang dibawa kutu. Ayah hilang pada tanggal 21 Oktober 1999. Begitu Ibu menulisnya di dinding kamar. Saat itu aku baru berumur satu Tahun.

***

Sudah lebih satu bulan aku tidak berani ke pasar. Suatu malam aku bermimpi. Jutaan kutu terbang mengelilingi rumahku. Suaranya begitu aneh, seperti bunyi tapak sepatu tentara yang sedang berlari. Setelah hinggap pada pohon mangga, mereka terbang ke arah pasar. Orang kampung keluar. Berdiri di pinggir jalan menyaksikan keanehan itu.

Tak lama kemudian, tampak orang pasar erlari berhamburan di jembatan. Ada kutu di belakang mereka mengejar, menghitam di udara. Aku terperangah. Jantung terasa menendangnendang dada. Badanku berkeringat, membasahi baju.Jika terjaga tengah malam, aku susah untuk bisa tidur lagi. Kulihat Ibu begitu tenang di tempat tidur. Aku keluar duduk di teras. Angin terasabasah, membeku di hidungku. Beberapa kelelawar bergelayut pada buah mangga. Kelelawar yang lebih besar datang dari belakang.

Mengejutkan dua kelelawar yang sedang menggigit buah mangga. Mereka kemudian terbang,membuat cabang terangguk-angguk. Buah mangga yang kena gigitan terayun-ayun. Kemudian jatuh melebub ke tanah. Aku berlari ke bawah pohon hendak mengambilnya. Sedang mencari-cari mangga yang baru saja jatuh, kakiku tak lagi terinjak tanah. Aku terangkat. Terasa sesuatu menarik rambutku ke atas. Seakan roh dalam tubuhku keluar sampai aku pingsan.

Saat sadar, aku sudah berada dalamsebuah rumah. Ribuan kutu menempel di dinding. Banyak juga yang sedang merayap di lantai. Badanku menjadi dingin, takut tak terbilang. Betapa aku tersentak melihat ada orang yang dulu pernah akrab denganku saat masih sering bermain ke pasar. Aku melihat Pawang Lem, nelayan yang pengasih. Tubuhnya terkulai di sudut dinding.Luka di sekujur tubuh. Matanya bengkak, tak bisa lagi terbuka.

***

Aku teringat Pawang Lem. Dulu diaorang yang sering mengajakku ngopi di pasar. Orangnya hitam. Telapak tangannya begitu kasar. Suaranya parau. Mata selalu merah terkena ngin laut. Dia suka berbicara kotor. namun para nelayan semua memuji kebaikannya. Jika mudah rejeki di laut, Pawang Lem sering bersedekah. Membawa beberapa ikan, dibagikan kepada orang miskin yang sudah tua di kampung. Di warung kopi, aku duduksemeja dengan kawan-kawan pawang Lem; Abu Yus, Bang Noh, Cek Ge, juga Pawang Lidan. Mereka berbicara dan tertawa besar-besar. Rokok tergeletak beberapa bungkus di atas meja. Hanya aku yang pesan bubur kacang hijau campur susu.

Mereka memesan telur setengah matang, dan segelas kopi. Kata Ibu, dulu Pawang Lem kawan dekat Ayah.

***

Di dalam rumah itu aku juga melihat Kak Sam. Terduduk mematungdi lantai ruang tengah. Mata jarang berkedip, seperti orang yang tidak tahu apa-apa lagi. Mukanya pucat seperti ayam tak lagi berdarah. Beberapa orang yang tidak kukenal, sudah menjadi mayat di sampingnya. Dulu, aku sering melihat Kak Sam merajang bawang, cabe merah, jeruk nipis, di atas terpal biru di depan pasar ikan. Kak Sam tidak memakai selendang. Jilbab juga tidak. Rambutnya keriting halus, berwarna agak kuning. Selalu diikat ke belakang dengan karet merah. Rambut yangdiikat ke belakang, ampak seperti bunga kol yang panjangnya sejengkal.

Pada ke dua daun telinganya, tergantung anting emas berbentuk bunga mawar. Memakai kaos lengan panjang dan bercelana jeans longgar. Saat itu, hanya Kak Sam yang kulihat satu-satunya perempuan perokok di pasar. Selesai menumpuk cabe menjadi beberapa tumpuk, dipanggilnya siapa saja yang lewat dengan suara parau. Kemudian dihisapnya rokok dalamdalam. Dihembus dengan cepat lewat samping mulutnya, seperti melepas beban di dada. Menurutku Kak Sam adalah kakak yang cantik. Wajahnya selalu berkeringat, segar seperti sayur Syik Insyah yang baru dipercikkan air. Orang yang berjualan di pasar, semua akrab dengan Kak Sam.

Nek Insyah adalah yang paling akrab dengannya. Nek Insyah duduk hanya beberapa langkah dari Kak Sam. Nek Insyah memakai selendang kuning, seakan ditumpuk di atas kepala. emakai baju yang kainnya sama dengan kain selendang. Berwarna hitam, berbunga merah seperti embang sepatu. Mulut yang keriput tidak pernah berhenti mengunyah sirih. Meleleh cairan merah pada kedua sudut mulutnya. Disekanya engan ujung jempol dan telunjuk. Getah sirih yang merekat pada dua jari itu, disapunya pada kain sarung erwarna coklat. Nek Insyah putih, ada kulitnya terdapat bintik-bintik coklat. Tangannya menonjol urat, seperti cacing tanah.

***

Tukang jual obat yang selalu ada dipasar setiap hari pekan, kulihat kukunya sudah tercabut semua. Tak berbaju. Di dada penuh lembam biru. Memakai celana pendek berwarna coklat. Pada paha penuh luka dengan bintik merah. Kutu-kutu di dalam rumah itu, mengangkat orang yang sudah jadi mayat menerbangkannya keluar. Aku tidak tahu mereka di bawa kemana. Saat mereka menuju ke arahku, aku berpura-pura pingsan lagi.

Kuucapkan doa dalam hati, meminta keselamatan dari Tuhan. Mereka mengangkat, menerbangkanku ke hutan. Sampai di tengah hutan, kulihat eribu bangkai manusia menumpuk di sana dalam satu liang. Ribuan kutu yang melemparku ke hutan terbang entah ke mana. Kupastikan mereka pulang ke rumah itu lagi.

Aku bangun dari liang dangkal itu, berlari tanpa tahu arah. Kuikuti jalan setapak. Berlari tak terkira jauhnya, sampai menemukan seorang yang sedang berkebun. Di sana, aku baru isa menangis sejadi-jadinya. Orang kebun yang mendengar tangisku mendekat, lantas bertanya. Dia membawaku pulang ke rumah. Di umah aku sakit selama tiga minggu. Teungku Ilyas, imam mesjid di kampungku, merajahku. Aku ditepungtawarinya dengan doa-doa, agar roh yang merasuki tubuhku pulang.

Berselang beberapa bulan, kutu mulai masuk ke kampung-kampung. Mereka masuk ke rumah-rumah penduduk. Kata orang mereka mencari lawannya. Ada kutu lain yang menjadi usuh mereka bersembunyi di kampung kami. Kutu-kutu itu memeriksa setiap kepala orang kampung.

Seperti tentara merazia orang yang dicurigai. Jika sudah begitu orang harus tenang. Membiarkan kutu bergerilya di atas kepala. Kalau ada yang panik, kemudian menghalau kutu dengan tangannya, saat itulah mereka menyerang orang tersebut. Mereka masuk kelobang telinga, ke hidung, ke dalam mata, sampai orang tersebut mati. Orang kampung banyak yang mengungsi ke kota. Mengosongkan rumah karena takut dengan kutu. Aku di bawa Ibu ke rumah paman Jabar, di kota.

***

Kini kutu sudah tak ada di kampungku. Setelah beberapa ekor merpati putih mengusirnya. Entah dari mana datang merpati itu, tidak ada yang tahu. Rumoh Geudong yang pernah menjadi sarang kutu telah dibakar. Kata orang agar kutu tak lagi duduk di sana. Pasar sudah ramai kembali. Jalan yang dulunya kecil kini sudah besar.

Aku jadi sering lagi main ke pasar. Hari pekan, aku melihat empat mobil mewah parkir di depanhalte depan pasar. Mereka adalah orang yang pernah mengusir kutu di kampung sebelum merpati putih datang. Kini mereka yang memimpin daerah kami. Aku mengikuti rombongan itu saat menuju ke dalam pasar.

Sepertinya mereka mau blusukan. Di pasar tengah, mereka berhenti. Dua di antaranya mengambil peci di atas kepala, kemudian mengipas-ngipas muka yang berkeringat. Mataku lama tak berkedip, melihat kepala mereka. Kudekati lagi, agar tak salah lihat. Ternyata benar, kutu itu bagaikan belalang yang mengerak di tanggkai padi. Aku berlari pulang. Kuceritakanitu semua pada Ibu. Ibuku kaget.

Kemudian cepat masuk kamar. Saatkeluar, ditangannya sebotol minyak kelapa busuk dengan sisir kutu yang terbuat dari bambu. Diambilnya kelender yang tersangkut di dinding, di aruh dibawah mukaku. “Nunduk. Siapa tahu kutu di kepala mereka, naik ke kepalamu”.[]

 

Cerpen ini telah dimuat sebelumnya di Harian Serambi Indonesia, Minggu 13 Maret 2016



Comments

Tinggalkan Balasan